Tradisi Bau Nyale merupakan tradisi masyarakat Sasak, khususnya di Kecamatan Pujut Lombok Tengah. Bau Nyale merupakan tradisi berburu cacing laut yang hanya keluar di tepi pantai pada waktu-waktu tertentu saja. Bau nyale diselenggarakan setiap tanggal 20 pada bulan ke 10 berdasarkan penanggalan masyarakat Sasak, biasanya sekitar bulan pebruari atau maret. Tradisi ini sekarang telah dijadikan sebagai festival tahunan yang bisa dijadikan sebagai salah satu kegiatan yang menarik untuk dilihat. Berbagai acara dilaksanakan sebelum kegiatan inti berburu cacing laut dilakukan.
Kata bau nyale berasal dari bahasa Sasak. Nyale merupakan jenis cacing laut dengan nama latin eunice Fucata. Cacing ini hidup di dasar air laut seperti di lubang batu karang. Bau dalam masyarakat Sasak berarti menangkap. Jadi, secara harfiah tradisi bau nyale berarti tradisi menangkap cacing laut. Cacing laut ini muncul di 16 titik di sepanjang pantai yang terdapat pantai selatan kabupaten Lombok Tengah. Namun, lokasi yang paling ramai didatangi oleh pengunjung adalah Pantai Kuta dan Pantai Seger yang letaknya memang berdekatan.
Tradisi bau nyale sudah berurat akar di dalam keyakinan masyarakat Sasak. Berdasarkan kepercayaan masyarakat sasak, cacing yang disebut juga dengan cacing palolo ini berhubungan dengan kesejahteraan serta keselamatan. Mereka percaya bahwa cacing ini bisa menyuburkan tanah sehingga bisa mendapatkan hasil panen memuaskan. Jika banyak cacing yang keluar dari laut, berarti pertanian mereka berhasil. Cacing yang telah ditangkap di pantai kemudian biasanya akan ditaburkan di sawah. Cacing nyale ini pun bisa dijadikan sebagai lauk, bahkan bisa dijadikan sebagai obat kuat.
Tradisi bau Nyale didasarkan pada legenda putri Mandalika yang telah dipercayai oleh masyarakat Sasak secara turun temurun. Legenda ini khususnya berkembang di kecamatan Pujut. Menurut cerita, dahulu kala ada sebuah kerajaan di Lombok yang memiliki putri sangat cantik dan arif bernama Putri Mandalika. Karena kecantikannya, banyak pangeran dari Kerajaan lain yang ingin meminang Mandalika sebagai istrinya. Lazimnya, pinangan yang banyak seharusnya membuat perempuan memilih salah satu untuk ia jadikan pendamping hidup, namun tidak dengan putri Jelita satu ini. Ia tidak pernah menolak salah satupun dari lamaran pangeran ini. Ini karena ia tidak ingin ada pertumpahan darah bila ia memilih salah satu dari pangeran kerajaan tersebut. Pada akhirnya, putri Mandalika memilih untuk menenggelamkan dirinya ke dalam laut. ia kemudian muncul kembali dalam bentuk nyale.
Hujan yang deras malam hari, kilat, serta petir, dan angin kencang menandai akan diadakannya tradisi bau nyale, persis seperti yang diceritakan dalam legenda putri Mandalika tersebut. Pada saat malam hari menjelang nyale akan keluar hujan deras dan angin kencang akan reda, lalu diganti dengan hujan rintik. Nyale bisa muncul dini hari hingga menjelang subuh. Tradisi ini pada dasarnya merupakan bentuk penghormatan masyarakat Sasak terhadap alam mereka. Sekalipun terinspirasi dengan legenda turun temurun, ritual bau nyale juga merupakan bukti betapa masyarakat tradisional sangat peka dengan kondisi di alam sekitar mereka, sehingga mereka dapat hidup dengan harmonis berasama alam.
Tradisi bau nyale diawali dengan berbagai acara kesenian tradisional khas masyarakat Sasak. Masyarakat maupun pengunjung bisa menyaksikan acara betandak atau berbalas pantun, peserean, belancaran, dan bejambik, serta pementasan drama mengenai Putri Mandalika. Tradisi ini menjadi pilihan yang tepat bagi mereka yang sangat menyukai wisata budaya. Apalagi, selain menikmati wisata budaya pengunjung bisa sekaligus menikmati keindahan pantai Seger dan Kuta di sini.
Kata bau nyale berasal dari bahasa Sasak. Nyale merupakan jenis cacing laut dengan nama latin eunice Fucata. Cacing ini hidup di dasar air laut seperti di lubang batu karang. Bau dalam masyarakat Sasak berarti menangkap. Jadi, secara harfiah tradisi bau nyale berarti tradisi menangkap cacing laut. Cacing laut ini muncul di 16 titik di sepanjang pantai yang terdapat pantai selatan kabupaten Lombok Tengah. Namun, lokasi yang paling ramai didatangi oleh pengunjung adalah Pantai Kuta dan Pantai Seger yang letaknya memang berdekatan.
Tradisi bau nyale sudah berurat akar di dalam keyakinan masyarakat Sasak. Berdasarkan kepercayaan masyarakat sasak, cacing yang disebut juga dengan cacing palolo ini berhubungan dengan kesejahteraan serta keselamatan. Mereka percaya bahwa cacing ini bisa menyuburkan tanah sehingga bisa mendapatkan hasil panen memuaskan. Jika banyak cacing yang keluar dari laut, berarti pertanian mereka berhasil. Cacing yang telah ditangkap di pantai kemudian biasanya akan ditaburkan di sawah. Cacing nyale ini pun bisa dijadikan sebagai lauk, bahkan bisa dijadikan sebagai obat kuat.
Tradisi bau Nyale didasarkan pada legenda putri Mandalika yang telah dipercayai oleh masyarakat Sasak secara turun temurun. Legenda ini khususnya berkembang di kecamatan Pujut. Menurut cerita, dahulu kala ada sebuah kerajaan di Lombok yang memiliki putri sangat cantik dan arif bernama Putri Mandalika. Karena kecantikannya, banyak pangeran dari Kerajaan lain yang ingin meminang Mandalika sebagai istrinya. Lazimnya, pinangan yang banyak seharusnya membuat perempuan memilih salah satu untuk ia jadikan pendamping hidup, namun tidak dengan putri Jelita satu ini. Ia tidak pernah menolak salah satupun dari lamaran pangeran ini. Ini karena ia tidak ingin ada pertumpahan darah bila ia memilih salah satu dari pangeran kerajaan tersebut. Pada akhirnya, putri Mandalika memilih untuk menenggelamkan dirinya ke dalam laut. ia kemudian muncul kembali dalam bentuk nyale.
Hujan yang deras malam hari, kilat, serta petir, dan angin kencang menandai akan diadakannya tradisi bau nyale, persis seperti yang diceritakan dalam legenda putri Mandalika tersebut. Pada saat malam hari menjelang nyale akan keluar hujan deras dan angin kencang akan reda, lalu diganti dengan hujan rintik. Nyale bisa muncul dini hari hingga menjelang subuh. Tradisi ini pada dasarnya merupakan bentuk penghormatan masyarakat Sasak terhadap alam mereka. Sekalipun terinspirasi dengan legenda turun temurun, ritual bau nyale juga merupakan bukti betapa masyarakat tradisional sangat peka dengan kondisi di alam sekitar mereka, sehingga mereka dapat hidup dengan harmonis berasama alam.
Tradisi bau nyale diawali dengan berbagai acara kesenian tradisional khas masyarakat Sasak. Masyarakat maupun pengunjung bisa menyaksikan acara betandak atau berbalas pantun, peserean, belancaran, dan bejambik, serta pementasan drama mengenai Putri Mandalika. Tradisi ini menjadi pilihan yang tepat bagi mereka yang sangat menyukai wisata budaya. Apalagi, selain menikmati wisata budaya pengunjung bisa sekaligus menikmati keindahan pantai Seger dan Kuta di sini.